Setahun setelah Tragedi Bom Bali I, bisnis pakaian batik mengalami keterpurukan. Hal ini dikarenakan pangsa pasar batik dari Pulau Jawa, 40 prosen ada di Bali. "Tapi sekarang stabil lagi. Pemesan dari Bali banyak lagi," ungkap Agus Purwanto, pengusaha Batik Cirebon ketika ditemui di rumahnya.

Namun yang lebih membanggakan Agus Purwanto, sekarang ini masyarakat kita jauh lebih mengerti soal batik itu sendiri. Dahulu, masyarakat kurang mengerti. Batik itu lebih ke soal motifnya bukan pembuatan atau prosesnya. "Batik itu adalah prosesnya. Proses kain yang dilukis menggunakan bahan pewarnatertentu, dilapisi lilin, dan sebagainya. Itu batik namanya," jelas Agus. Motifnya sendiri bebas. Tapi masing-masing daerah memiliki motif-motif yang khas.

Dari uraian tentang batik ini, akibatnya masyarakat juga mengerti kalau harga batik itu mahal. Batik itu eksklusif. "Batik sempat jatuh pretisnya ketika muncul industri printing yang dijual sangat murah. Padahal itu bukan batik," tandas Purwanto.

JELAS MARKETNYA

Kemunculan industri massal itu, satu sisi memang membantu dalam memasyarakatkan batik lebih luas lagi. Tapi pada sisi lain, sentra-sentra batik di Indonesia seperti di Cirebon, Solo, Jogja dan sebagainya, jadi bangkrut.

"Orang lebih tertarik beli yang printing ketimbang yang asli. Karenayang asli agak mahal." jelasnya. Tapi sejak tahun sembilan puluhan, ketika masyarakat sudah mengerti batik, justru yang asli yang dicari masyarakat.

Sejak tahun sembilan puluhan pula, Agus memang tidak tertarik dalam industri masal. Printing itu modalnya besar. Kalau laku untungnya besar, tapi kalau rugi juga besar. Kerugian itu sering terjadi karena mereka tergantung pada pembelinyayang notabene kelas bawah. Kelas bawah adalah kelas yang paling mudah goyahatau tidak stabil ekonominya.

Agus tetap ambil keputusan pada jalur tradisional. Dia memproduksi batik sesuai permintaan, sehingga resikonya kecil dan marketnya jelas. "Market saya itu dari kalangan menengah ke atas. Mereka ini orang yang selalu membeli batik dalam situasi ekonomi sesulit apa pun. Karena batik juga bagian dari prestis mereka," ungkapAgus.

PILIHAN LAIN
Pria yang sudah dikaruniai tigaanak ini, menggeluti bisnis batik sejak tahuri sembilan puluhan. Awalnya Agus bekerjadi sebuah perusahaan kontraktor. "Saya jadi pengusaha batik karena tidak ada pilihan lain. Dan kebetulan saya bisa membatik," kata Agus. Memang sejak kecil Agus sudah belajar membatik dari orang tuanya.

Di sentra batik Trusni di Cirebon, hingga sekarang, sebagian besar anak-anak bisa membatik. Mereka selalu diajarkan secara turun temurun seperti halnya Agus.

Usaha batiknyayang memiliki nama "Tiga Puteri" ini memiliki karyawan sebanyak 20 orang. Sementara omsetnya per bulan bisa mencapai Rp 75 Juta. "Produk saya, selain saya kirim ke Bali juga ke Tanah Abang. Saya juga sering mengikuti acara-acara pameran busana, khususnya batik" tandas Agus.

KE SEKOLAH

Agus Purwanto yang tinggal di Jakarta dan memiliki showroom di Cirebon ini, belakangan juga merasa bangga dengan banyaknya minat anak-anak sekolah yang belajar membatik. Hampir setiap hari ada saja pelajar yang datang ke Museum Tekstil Jakarta untuk membatik.

"Selain itu, banyak sekolah-sekolah yang meminta saya mengajar membatik. Mereka tidak hanya diperkenalkan salah satu motif batik daerah tapi juga dari beberapa daerah lainnya," tandas Agus yang memiliki pelanggan tetap dari Jepang. "Masyarakat Jepang paling banyak menyukai batik kita," selanya. -berbagai sumber/tabloid probis/info usaha